Candi Penataran Kompleks Percandian Terbesar di Kaki Gunung Kelud
Candi
Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914 - 1915 nomor 2045
dan catatan Verbeek nomor 563. Bangunan kekunaan terdiri atas beberapa gugusan
sehingga lebih tepat kalau disebut sebagai kompleks percandian. Lokasi bangunan
terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas
permukaan air laut. Di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan
Nglegok, Kabupaten Blitar. Untuk sampai di lokasi percandian dapat di tempuh
dari pusat kota Blitar ke arah utara yaitu kejurusan Makam Proklamator Bung
Karno. Jarak dari kota sampai lokasi diperkirakan 12 km, jalan mulus beraspal
dan dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan. Apabila di tempuh dari kota
Blitar, setelah perjalanan mencapai 10 km, sampailah kita di pasar Nglegok,
kemudian di teruskan sampai pasar desa Panataran. Disini jalan bercabang dua,
yaitu belok ke kanan menuju desa Modangan sedangkan yang belok kekiri menuju
yakni jalan menuju ke barat adalah langsung menuju ke percandian. Dari
pertigaan pasar Panataran sampai ke lokasi hanya tinggal 300 m. Bagi pengunjung
yang datang dari malang tidak perlu masuk sampai kota, sebab dapat ditempuh
dari pertigaan desa Garum belok kanan sejauh ± 5 km sudah sampai lokasi. Hanya
fasilitas jalannya tidak terlalu lebar.
A.
Riwayat
Penemuan Candi Penataran
Semenjak
runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian di susul dengan masuknya agama
Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu / Budha begitu
saja di tinggalkan oleh masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-bangunan
suci yang tidak lagi dipergunakan itu di lupakan orang-orang karena masyarakat
sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya bangunan tersebut menjadi
terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran
tanah dan semak semak belukar. Yang nampak adalah puing - puing berserakan di
sana sini. Ketika daerah ini berkembang menjadi pemukiman keadaannya menjadi
lebih parah lagi. Batu - batu candinya di bongkar orang dari susunannya untuk
keperluaan alas bangunan rumah atau pengeras jalan, sedangkan batu batanya di
tumbuk untuk dijadikan semen merah. Sejumlah batu-batu berhias dan juga
arca-arca di ambil oleh sinder - sinder perkebunan. Keadaan yang menyedihkan
ini berlangsung cukup lama, sampai datangnya para peneliti pada sekitar
permulaan abad XIX. Dengan keahlian yang dimilikinya mulailah para peneliti itu
mengadakan rekonstruksi dan pemugaran.
Demikian
juga keadaan komplek percandian Panataran dimasa lalu. Candi Penataran di
temukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak di kenal.
Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles (1781 - 1826), letnan gubernur
jendral kolonial Inggris yang berkuasa di negara kita pada waktu itu.
Raffles
bersama dengan Dr. Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke
Candi Penataran, hasil kunjungannya di bukukan dalam bukunya yang cukup
terkenal “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak raffles ini
kemudian di ikuti oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang asisten
residen di Yogyakarta, selanjutnya van meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844),
Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866 mengadakan
inventarisasi di komplek percandiaan Penataran. Pada tahun 1867 Andre de la
Porte bersama dengan J. Knebel seorang asisten residen mengadakan penelitian
atas Candi Panataran dan hasil penelitian di bukukan dalam bukunya yang terbit
1900 yang berjudul “De ruines van Panataran”.
Dengan
berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bersama Oudheidkundige
Dienst (biasa di singkat OD) pada tanggal 14 - 06 - 1913 maka penanganan atas
candi Penataran menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama dengan
peninggalan kuno yang lain yang berada di Jawa Timur. Pemeliharaan,
Perlindungan, Pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di
Trowulan, Mojokerto.
B.
Susunan
Umum Kompleks Percandian Penataran
Menurut
catatan bangunan kekunaan menempati areal tanah seluas 12.946 m2 berjajar dari
barat laut ke timur kemudian berlanjut ke bagian tenggara. Seluruh halaman
komplek percandian kecuali halaman yang berada di bagian tenggara di bagi-bagi
(disekat) oleh dua jalur dinding yang melintang dari arah utara ke selatan sehingga
membagi halaman komplek percandian menjadi tiga bagian yang untuk mudahnya yang
berturut-turut akan di sebut sebagai: halaman A untuk halaman I, halaman B
untuk halaman II, dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman komplek
percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama nenek
moyang kita. Sebagian dapat diamati oleh peta situasi, halaman B masih di bagi
lagi oleh dinding yang membujur arah timur - barat sehingga membagi halaman B
menjadi dua bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh tembok keliling
belum di ketahui dengan pasti sebab kini yang tinggal hanya pondasi -
pondasinya saja. Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak
lama runtuh, yang nampak sekarang adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi
sebagai batas pagar keliling kekunaan. Tembok keliling dan dinding penyekat
terbuat dari bahan bata merah, sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama
menyebabkan keruntuhannya.
Susunan
komplek percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu
dengan yang lain berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya
agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan bangunan pura yang
ada di Bali. Dalam susunan seperti ini di bagian halaman yang terletak paling belakang
adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan
induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada di bagian candi yang
paling belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung. Di Jawa Timur
perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras
dengan susunan makin ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu
masuk ke halaman komplek percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai
pintu keluar terletak di bagian barat. Dengan menuruni tangga masuk yang berupa
undak-undakan sampailah kita di ruang tunggu tempat pengunjung mendaftarkan
diri sebelum masuk halaman komplek percandian. disini terdapat dua buah arca
penjaga pintu (Dwaraphala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan
sebutan “Mbah Bodo” yang menarik dari kedua arca penjaga ini bukan karena
ukurannya yang besar dan wajahnya yang menakutkan (daemonis) tetapi pahatan
angka tahun tertulis dalam huruf Jawa Kuno: tahun 1242 Saka atau kalau di
jadikan mesehi (ditambah 78 Tahun) menjadi 1320 Masehi.
Berdasarkan
pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut para
sarjana berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran)
di resmikan menjadi kuil negara (state temple) baru pada jaman Raja
Jayanegaradari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309 - 1328 AD. Di sebelah
timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat sisa-sisa
pintu gerbang dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-sebut
Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848. Dengan
melalui bekas pintu gerbang ini sampailah kita ke bagian terdepan halaman A.
Disini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas bangunan yang hanya tinggal
pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah. Melihat banyaknya umpak
- umpak batu yang tersisa di sini dapat diduga bahwa dahulu terdapat bangunan -
bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dapat kita jumpai di Bali.
Berapa banyak bangunan yang menggunakan tiang - tiang kayu belum dapat
diketahui dengan pasti.
Bangunan
- bangunan penting yang terletak di halaman A adalah sebuah bangunan yang
berbentuk persegi panjang yang disebut dengan nama “Bale Agung”, kemudian
bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja,
sebuah bangunan berbentuk persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari
bangunan bale agung yang di sebut dengan nama “pendopo teras” atau “batur
pendopo” dan bangunan yang berupa candi kecil berangka tahun yang di sebut candi
Angka tahun. Bangunan - bangunan tersebut seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Menurut
halaman B juga melewati sisa-sisa bekas pintu gerbang yang bagian depannya di
jaga oleh dua buah arca dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil. Kedua arca
dwarapala ini pada lapik arca nya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun
1214 Saka atau 1319 Masehi. Peristiwa apa yang dikaitkan dengan angkat tahun
ini belum diketahui. Di Halaman B masih dapat di saksikan sekitar 7 buah bekas
bangunan, ada bangunan yang terbuat dari bahan bata merah dan ada juga bangunan
yang terbuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh buah bekas bangunan tersebut
enam buah diantaranya sudah tidak dapat dikenali lagi bentuknya. Satu satunya
bangunan yang cukup di kenal adalah Candi Naga, di sebut demikian karena
sekeliling tubuh bangunan tersebut di lilit ular Naga. Bangunan Candi Naga
seluruhnya terbuat dari batu andesit. Halaman terakhir adalah halaman C, di situ juga
terdapat bekas pintu gerbang yang bagian depannya di jaga oleh dua buah arca
dwarapala. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan, dua buah yang sudah dapat
dikenali adalah bangunan candi induk, tujuh bangunan yang lain sementara ini
belum terungkapkan.
Disebelah
selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu
bertulis. Melihat besarnya ukuran batu prasasti ini para ahli menduga batu
tersebut masih berada di tempat aslinya. Prasasti menggunakan huruf jawa kuno
bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi di keluarkan oleh Raja Srengga dari
kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah
perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah maka para sarjana
berpendapat bahwa yang dimaksud Palah tentunya tidak lain adalah Penataran.
Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah Candi Penataran sekarang maka
usia pembangunan komplek percandian Penataran memakan waktu sekurang-kurangnya
250 tahun. di bangun dari 1197 Masehi pada jaman kerajaan Kediri sampai tahun
1454 pada jaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat kita
saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit.
Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari jaman Kediri) telah lama
runtuh.
Petirtan di kompleks Candi Panataran |
C.
Uraian
Bangunan – Bangunan di Candi Penataran bagian Belakang dan Petirtan
Halaman
terakhir adalah pelataran dalam yang semula juga dibatasi dengan dinding yang
melintang arah utara-selatan. Di selatan juga terdapat bekas pintu gerbang yang
dijaga oleh sepasang arca dwarapala. Di pelataran ini terdapat sekurangnya 9
bangunan, 2 buah yang sudah dapat dikenali adalah candi induk dan susunan
percobaan bangunan tubuhnya. Ketujuh bangunan lainnya tinggal reruntuhan yang
masih belum terungkapkan bentuk dan fungsinya.
Uraian
bersifat deskriptif dengan mencantumkan ukuran-ukuran supaya dapat memberikan
gambaran secara dimensional apabila kita sudah tidak berada di lokasi
percandian. Bangunan-bangunan tersebut adalah sebagai berikut:
·
Candi Induk
Bangunan Candi Induk sebagaimana
telah diuraikan dimuka adalah satu-satunya bangunan candi yang paling besar
diantara bangunan-bangunan kekunaan yang terdapat di halaman komplek
percandian. Lokasi bangunan terletak dibagian yang paling belakang yakni bagian
yang dianggap suci. Bangunan Candi Induk terdiri dari tiga teras bersusun
dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter.
Teras pertama berbentuk empat
persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Pada keempat
sisinya kira-kira di bagian tengah masing-masing dinding terdapat bagian yang
menjorok keluar sekitar 3 meteran. Untuk naik ke teras pertama, terdapat dua buah tangga di kiri dan
kanan sisi barat. Pada masing-masing sisi kedua tangga terdapat arca dwarapala
yang pada tatakannya terpahat angka tahun 1269 Saka (1347 M). Sepanjang dinding
teras pertama dipenuhi pahatan relief cerita.
Teras kedua berukuran lebih kecil dibandingkan dengan teras
pertama, karena pada bagian yang menjorok keluar di teras pertama justru
sedikit menjorok ke dalam di teras kedua. Perbedaan ukuran antara teras pertama
dan teras kedua membentuk selasar di lantai teras pertama, yang memungkinkan
orang berjalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang
digambarkan dalam relief cerita yang terpahat di sepanjang dinding. Pada
dinding di teras pertama dan kedua berjajar panil pahatan cerita Ramayana dan
dan Krisnayana diselingi dengan hiasan motif medalion. Pada teras kedua terdapat sebuah
tangga naik yang letaknya hampir di tengah-tengah dinding, tangga naik
bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga.
Teras ketiga bentuknya hampir bujur
sangkar, dinding-dindingnya berpahatkan arca singa bersayap dan naga bersayap.
Naga bersayap kepalanya sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap
kaki belakangnya dalam posisi berjongkok dan kaki depannya diangkat keatas.
Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga selain untuk mengisi bidang yang
kosong juga menjadi pilar bangunan. Yang menarik dari lantai teras ketiga ini
adalah sewaktu diadakan pembukaan lantai dalam rangka pemugaran ternyata bagian
tengah lantai teras terbuat dari bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang
berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok ke depan.
Berdasarkan data-data tersebut timbul dugaan bahwa bangunan asli Candi
Penataran dibuat dari batu merah. Dalam kurun waktu berikutnya diperluas dengan
menutupinya memakai batu andesit. Perluasan itu terjadi pada jaman Majapahit.
Apakah bangunan yang lama yang dibuat dari bahan bata merah ini yang
dimaksudkan dalam prasasti Palah kiranya perlu penelitian lebih lanjut di masa
yang akan datang.
Dengan sampainya di lantai teras
ketiga candi induk sampailah kita pada dasar kaki candi. Teras ketiga merupakan emperan kosong. Disinilah seharusnya berdiri tubuh
candi. Sebagian dari tubuh candi induk ini telah di susun dalam susunan
percobaan di lapangan percandian. Karena bagian-bagian percandian belum dapat
di temukan semuanya maka sampai saat ini bangunan tubuh candi induk belum dapat
diselesaikan.
·
Prasasti
Palah
Di selatan candi utama masih berdiri tegak sebuah batu prasasti.
Menilik besarnya ukuran batu prasasti, para ahli menduga sejak semula batu
tersebut memang terletak di tempat itu.
Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut
berangka tahun 1119 Saka (1197 M.), dibuat atas perintah Raja Srengga dari
Kerajaan Kediri. Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang peresmian
sebuah tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah, mendasari
dugaan bahwa yang dimaksud dengan Palah tidak lain adalah Candi Panataran.
Andaikata benar bahwa Palah adalah Candi Panataran, maka usia
Candi Panataran sekurangnya telah mencapai 250 tahun dan pembangunan candi ini
mengalami perjalanan panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman kerajaan Kediri,
sampai pada tahun 1454, zaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang
dapat masih dapat disaksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja
Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman Kediri)
telah lama runtuh.
·
Petirtan
( Kolam Mandi )
Kolam 'petirtaan' (tempat mandi) memiliki ukuran yang agak besar,
yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi. Berangka tahun
1337 Saka (1415 M.).
D.
CERITA
SINGKAT TENTANG RELIEF DI CANDI PENATARAN BAGIAN BELAKANG DAN PETIRTAN
Sejumlah bangunan purbakala di Jawa
Timur dindingnya berpahatkan relief-relief cerita dalam kombinasi berbagai
ragam hias yang indah dan menarik. Relief-relief tersebut dipahatkan pada
bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras dan juga dipahatkan pada bangunan-bangunan
yang di buat dari bahan bata merah walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Pada umumnya relief-relief gaya Jawa
Timur berbentuk agak pipih (gepeng) seperti wayang, berbeda dengan
relief-relief gaya Jawa Tengah yang berbentuk naturalis atau realistik dalam
arti mendekati bentuk model yang sebenarnya. Dengan melalui visualisasi
relief-relief ininenek moyang kita atau seniman ingin menyampaikan informasi
atau pesan kepada masyarakat. Informasi atau pesan tersebut dapat berupa cerita
yang didalamnya terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang kepahlawanan,
tentang cinta kasih dan sebagainya.
Juga berupa tutur yakni dongengan
yang bersifat mendidik. Dan tidak mustahil bila di antara sekian banyak relief
ada yang menggambarkan semacam protes sosial yang terjadi pada zamannya. Studi
tentang relief memang menarik sebab dari sinilah kita dapat melihat gambaran
sebagian dari kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu, tentang kehidupan
masyarakat sehari-hari, tentang model-model bangunan, tentang berbagai pola
ragam hias, tentang filsafat dan kepercayaan nenek moyang pada waktu itu. Untuk
pembacaan suatu adegan dalam relief dapat mengikuti arah jarum jam yang juga di
sebut pradaksina dan juga dapat kebalikannnya yakni berlawanan dengan arah jarum
jam yang di sebut prasawnya.
Jadi ada yang berurutan dari kiri ke
kanan atau sebaliknya. Di komplek percandian penataran relief-relief yang
terdapat di dinding-dinding pendopo teras pada bidang atau panil-panil tertentu
di bagian atasnya terdapat tulisan singkat dalam huruf jawa kuno yang diduga
merupakan petunjuk bagi para pemahat cerita apa yang harus digambarkan.
Beberapa tulisan singkat yang telah berhasil dibaca memang sesuai dengan adegan
yang dilukiskan dalam relief tersebut. Tulisan-tulisan singkat seperti ini juga
terdapat di candi Borobudur. Adapun relief-relief di komplek percandian
Penataran yang telah diketahui jalan ceritanya seperti di bawah ini :
·
Relief Ramayana
(Hanoman Duto)
ð Lokasi : Dinding teras pertama
candi induk, mengelilingi dinding teras.
ð
Urutan
Adegan: Prasawnya, dimulai dari dinding sisi utara yang menghadap ke barat
terus melingkar kembali ke dinding utara yang menghadap ke utara jumlahnya
sekitar 91 panil.
ð
Cerita
Singkat : Hanoman salah satu pimpinan kera kepercayaan sugriwa pada suatu
ketika diutus ke alengka tempat istana Rahwana untuk mencari sinta. Dengan
jalan mendaki gunung kemudian menyebrangi lautan sampailah ia di istana
Rahwana. Sementara Hanoman bersembunyi di atas pohon, kemudian setelah keadaan
memungkinkan ia menyelinap kedalam istana untuk menyerahkan cincin titipan
Rama. Sewaktu keluar istana Hanoman kepergok penjaga istana hingga terjadilah
perkelahian. Hanoman mengamuk merusak taman, kejadian ini dilaporkan kepada
Rahwana. Bala bantuan di kirim, pertempuran sengit terjadi. Banyak korban
berjatuhan bahkan Aksa anak rahwana sampai patah tulang tangannnya. Pasukan
berikutnya di pimpin oleh Indrajid yang mempergunakan panah ular (panah
berantai). Dengan panah ini hanoman
berhasil di belenggu, ekornya di bungkus kain kemudian dilumuri minyak terus
dibakar. Tentu saja membuat Hanoman meronta-ronta, dengan bergulung-gulung
belenggu dapat dilepaskan. Dalam keadaan terbakar ekornya ia melompat kian
kemari, melompat ke atas hubungan rumah sehingga seluruh istana terbakar. Suasana
istana menjadi gempar, sebelum meninggalkan tempat, Hanoman sempat pamitan
kepada Sinta. Hanoman kemudian lapor kepada Rama dan Laksmana. Sugriwa
diperintah untuk mengerahkan pasukan kera. Dengan menembok samudra pasukan kera
berhasil membangun jembatan yang menuju ke alengka. Setelah persiapan selesai
bala tentara kera dipimpin oleh sugriwa, Laksmana dan Rama menyerang alengka.
Korban banyak berjatuhan diantara dua pihak. Dalam pertempuran ini Laksmana berhasil memanah Kumbokarno hingga mati seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk menumpas sisa-sisa pasukan.
Korban banyak berjatuhan diantara dua pihak. Dalam pertempuran ini Laksmana berhasil memanah Kumbokarno hingga mati seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk menumpas sisa-sisa pasukan.
·
Relief: Kresnayana
(Noroyono Maling)
ð Lokasi : Dinding teras kedua candi
induk
ð Urutan Adegan: Pradaksina, dari
kanan terus ke kiri
ð
Cerita
Singkat: Dewi Rukmini putri dari Raja Bismaka dari negeri Kundina sudah
dipertunangkan dengan Suniti raja dari negeri Cedi. Pertunangan ini tidak
disetujui oleh ibu Rukmini yang menginginkan putrinya dapat dijodohkan dengan
Kresna. Ibu Rukmini berusaha untuk menggagalkan perkawinan ini. Sewaktu perkawinan
akan berlangsung ibu Rukmini menghubungi Kresna. Rukmini keluar istana menuju
pintu gerbang Sri Manganti, kemudian disambut oleh Kresna utnuk dibawa lari.
Suasana istana gempar, terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam
pertempuran ini Rukma adik Rukmini terkena panah Kresna kemudian terjungkal
jatuh. Rukmini minta kepada Kresna supaya adiknya tidak dibunuh. Kresna dan
Rukmini kemudian pergi ke Dwarawati, mereka hidup bahagia.
·
Relief: Pemburu yang
tertipu
ð Lokasi: Dinding sisi utara kolam berangka
tahun dan juga di bagian belakang arca penjaga sebelah kiri tangga utara candi
induk.
ð Urutan Adegan: Prasawya, dari kiri
terus ke kanan, yang dibagian belakang arca Dwaraphala candi induk hanya suatu
adegan.
ð
Cerita
Singkat: Seorang pemburu hampir menjelang senja pulang dari hutan dengan
membawa hasil tangkapannya yang berupa seekor kura-kura. Seekor kancil yang
konon merupakan sahabat akrab kura-kura berusaha untuk menolongnya dengan
memalingkan perhatian pemburu kepadanya.
Karena penasaran pemburu itu kemudian meletakkan
hasil buruannya ketanah dan beralih mengejar kancil. Kura-kura berhasil
meloloskan diri masuk semak-semak belukar. Kancil larinya semakin kencang dan
menghilang dalam hutan. Pemburu yang terkecoh oleh ulah kancil terpaksa pulang
dengan tangan hampa.
·
Relief: Kura-kura yang
sombong
ð Lokasi: Dinding kolam berangka
tahun, dinding sisi barat
ð Urutan Adegan: Dari kanan terus ke
kiri, letak panil hampir di bagian tengah dinding
ð
Cerita
Singkat: Adalah dua ekor kura-kura di sebuah sungai yang hampir-hampir kering.
Maklumlah sedang musimnya kemarau panjang. Seekor burung belibis berusaha untuk
menolongnya dengan menerbangkan kedua kura-kura itu ke sebuah telaga. Dengan
bergantung pada masing-masing ujung cabang kayu yang digigit oleh burung belibis
kedua kura-kura itu berhasil dibawa terbang. Sebelum diterbangkan burung
belibis berpesan kepada kedua kura-kura itu untuk tidak berkata-kata sepanjang
perjalanan. Namun amanat burung belibis itu dilanggar gara-gara tidak kuat
menahan ejekan sekelompok serigala sewaktu melewati sebuah hutan. Akibat
menjawab ejekan mulut kedua kura-kura ini lepas dari cabang kayu yang
digigitnya, jatuh ketanah dan menjadi santapan lezat kawanan srigala.
·
Relief: Lembu dan Buaya
ð Lokasi: Dinding kolam berangka
tahun pada dinding bagian barat, juga terdapat pada bagian belakang arca
dwarapala bertahun 1269 Saka yang terletak di sebelah kanan tangga masuk
bangunan candi induk sisi utara
ð Urutan Adegan: Dari kiri terus
kanan
Cerita Singkat: Seekor buaya tiba-tiba kerobohan sebatang pohon, untung
berada di suatu tempat yang berlubang sehingga masih sempat menyelamatkan diri
tidak sampai mati. Seekor lembu jantan lewat didepannya kemudian dimintainya
pertolongan. Lembu jantan tidak keberatan dan berhasil mengangkat pohon yang
tumbang tersebut. Karena tempat buaya di lautan maka lembu jantan dimintanya
untuk mengantarkannya. Setelah perjalanan sampai di tengah laut punuk (ponok,
bonggol punggung) lembu digigitnya. Terasa sakit terjadilah perekelahian. Lembu
jantan hampir kalah karena laut bukan alamnya. Datanglah kemudian kancil yang
bertindak sebagai wasit perkara (tidak digambarkan dalam relief). Buaya
dikembalikan ke tempat semula sewaktu kerobohan pohon dan kemudian ditinggal
sendirian. Buaya tinggal menuju ajalnya saja.
Comments
Post a Comment