Peran Pers Dalam Menumbuhkan Semangat Nasionalisme

Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) tentang isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup.
Pers adalah sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dasawarsa itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu
yang mengalami peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangan lalu kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, lalu peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Nasionalisme Indonesia telah ditumbuhkan oleh dan melalui banyak surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang terbit di beberapa kota di Hindia Belanda, dan juga di luar negeri. Nama-nama surat kabar itu seperti:Soerat Kabar Bahasa Melajoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe – belakangan bernama Slompret Melayoe – (Semarang, 1860), Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863), Bintang Timor (Padang, 1865), Bintang Djohar (Betawi, 1873),Mata Hari (Makassar, 1883), Pelita Ketjil (Padang, 1886), Insulinde (Padang, 1901) bahkan juga Bintang Utara (Rotterdam, 1856) dan Bintang Hindia (Amsterdam, 1903).
Nama-nama surat kabar ini ada sebelum Medan Prijaji (Batavia, 1907) milik Tirto Adi Soerjo. Dengan membaca buku ini, maka pembaca akan tahu bahwa jasa Tirto Adi Soerjo tidak lebih besar daripada jasa Dja Endar Moeda yang aktif di dunia pers pribumi di Sumatera. Dia bukan cuma memiliki dan mengeditori hampir selusin surat kabar pribumi di Sumatera, tapi membeli percetakan Insulinde di Padang untuk mencetak surat kabar dan buku-buku berbahasa Melayu, mengabdikan dirinya di dunia jurnalisme dan perbukuan untuk memajukan kaum sebangsanya. Atau sebutlah nama lain seperti Abdul Rivai, dokter Jawa pertama yang lewat tulisan-tulisannya yang cerdas dalam surat kabar Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam (1903-1907) memberikan berbagai informasi dan pengetahuan berharga kepada kaum sebangsanya di tanah air. Jangan salah, meskipun Bintang Hindiaawalnya terbit di Amsterdam, pada akhirnya koran ini paling besar didistribusikan di Hindia Belanda lewat tangan dingin Crousson yang bisa mendapatkan kesepakatan kerjasama dengan pemerintah jajahan.
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning. Bermunculannya media cetak itu segera diikuti oleh sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar- komentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utaya seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kapitalisme cetak memudahkan kaum terdidik untuk mendapat informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerjasama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga sudah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan mengenai perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja memuat artikel mengenai bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat mengenai berita Asia dan Eropa.
Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisan- tulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat mengenai “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia. Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu dia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum berusia tua dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang memiliki tujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud saat para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.Blapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang lalu membawa kemajuan untuk kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisurya memuat mengenai tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan sebab mereka bersatu”. Dia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangan lalu kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, lalu peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
R.M. Tirtoadisurya memuat mengenai tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan sebab mereka bersatu”. Dia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat   (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera, gagasana untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi mengenai panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. Sementara itu anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) untuk anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang.
Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat mengenai perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi-tingginya. Koran itu memuat dua hal penting, yaitu mengenai “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul adalah mereka yang memiliki keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dll. Bangsawan pikiran adalah mereka yang memiliki gelar meester, dokter, dsb, yang diperoleh melalui pendidikan.
Surat kabar yang paling memperoleh perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide- ide radikal dan kritis pada sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan panitia adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayaan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.
Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers dikenal dengan nama Semaun. Dia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritikannya tentang haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai fasilitas untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah dia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam pada program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada dewan kota yang sebagian besar adalah orang Eropa.

Comments

Popular posts from this blog

Upaya Jepang menggerakkan para pemuda Indonesia

MASA PEMERINTAHAN KOMISARIS JENDERAL

GERAKAN NON BLOK (GNB)