PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA


Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.
Ciri-ciri ideologi terbuka dan ideologi tertutup adalah :
1.    Ideologi Terbuka
a.    Merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b.    Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri.
c.    Hasil musyawarah dan konsensus masyarakat.
d.   Bersifat dinamis dan reformis.
2.    Ideologi Tetutup
a.    Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b.    Bukan berupa nilai dan cita-cita.
c.    Kepercayaan dan kesetiaan ideologis yang kaku.
d.   Terdiri atas tuntutan konkret dan operasional yang diajukan secara mutlak.
Menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai berikut :
a)    Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila.
b)   Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaanya.
c)    Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.
A.     Pemahaman dan Pelanggaran Pancasila Saat Ini
Artinya Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan maupun berbeda adat istiadat.

Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.
Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan permusuhan. Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu.
Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.

B.     Cara Pandang Baru Terhadap Pancasila

Problem ideologi Pancasila, yang terlihat pada menguatnya kekuasaan negara yang otoritarian, berhubungan dengan kenyataan bahwa Pancasila telah berkembang menjadi doktrin yang komprehensif. Doktrin yang komprehensif merujuk pada sistem ajaran yang berlaku untuk semua subyek dan kebajikan dari ajaran ini mencakup seluruh kehidupan. Jadi semua doktrin yang komprehensif memiliki dua ciri penting, yaitu :
1.    Ia berlaku menyeluruh
2.    Tidak ada kebenaran lain di luar sebuah doktrin yang komprehensif yang diyakini.
Bukan pada tempatnya di sini menjelaskan mengapa dan bagaimana Pancasila berkembang menjadi sebuah doktrin yang komprehensif, meskipun barangkali perkembangan ini bisa ditelusuri sejak awal proses perumusan Pancasila, ketika identitas nasional dianggap sebagai sesuatu yang unik, seperti terlihat pada idea tentang negara integralistis yang dirumuskan Soepomo dan kemudian juga dikembangkan dengan cara tertentu baik dalam rezim Soekarno maupun Suharto. Terlepas dari masalah ini, jelas ada hubungan antara doktrin yang komprehensif dan penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Nampaknya memang bisa diterima bahwa jika sebuah masyarakat menegaskan secara bersama-sama salah satu doktrin moral, kefilsafatan atau keagamaan yang komprehensif, maka untuk bisa mempertahankan doktrin komprehensif itu secara terus menerus dibutuhkan penggunaan kekuataan memaksa (opresi) dari kekuasaan negara.
Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak doktrin-doktrin yang komprehensif yang hidup dalam masyarakat kita. Justru dalam semua masyarakat yang majemuk dan demokratis, keberadaan doktrin-doktrin yang komprehensif (baik moral, kefilsafatan maupun keagamaan) sudah menjadi fakta umum yang harus diterima. ’Fakta pluralisme’ (the fact of pluralism) ini merupakan ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis, bukan semata-mata kondisi historis yang kemudian akan sirna. Maka, yang menjadi masalah bukan bagaimana meniadakan doktrin-doktrin yang komprehensif itu, sebab justru dalam kondisi sosial dan politik yang melindungi kebebasan dan hak-hak dasar, keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang bertentangan akan muncul dan bertambah. Masalahnya adalah bagaimana sebuah ideologi negara dikembangkan dalam sebuah masyarakat demokratis yang modern dan majemuk yang ditandai adanya ’fakta pluralisme’ yang terlihat dalam berbagai bentuk doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan yang berbeda-beda? Yang diperlukan adalah sebuah ajaran yang dapat didukung oleh kemajemukan dari berbagai doktrin moral, kefilsafatan, dan keagamaan yang komprehensif, masing-masing dari sudut pandangnya sendiri.
Hal itu hanyalah merupakan indikasi awal dari cara pandang baru yang perlu kita pertimbangkan, dan kita perlu melihat bagaimana Pancasila sendiri telah dipahami para pendukungnya. Sejarah mencatat, sebagaimana dituturkan Nasution, bahwa dalam Konstituante terdapat dua kelompok ‘Pendukung Pancasila’. Pertama melihat Pancasila sebagai forum, titik pertemuan bagi seluruh kelompok dan partai yang berbeda-beda, sebuah common denominator dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia. Versi pandangan ini dipertahankan oleh PNI, PKI dan partai-partai Kristen dan Katolik. Dengan kata lain, kelompok ini melihat Pancasila dalam pengertian asli sebagai sebuah kompromi politik. Kedua, menurut Nasution, adalah yang menekankan Pancasila sebagai ideologi satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia, dan karena itu menjadi landasan yang sesuai bagi dasar Negara Indonesia. Menurut Nasution, pandangan ini hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Konstituante termasuk Prof. Soepomo, penggagas idea Integralisme.
Contoh ini menjelaskan dua cara pandang tentang Pancasila, dan dapat dipergunakan untuk memahami apakah Pancasila harus diterima sebagai konsepsi politis ataukah sebagai doktrin yang komprehensif. Jika alasan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif harus ditolak, maka pilihannya adalah menerima Pancasila sebagai konsepsi politis. Namun, penting dicatat bahwa pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan pemahaman Pancasila sebagai kesepakatan politik (political agreement), kontrak sosial, atau forum atau common denominator, (meskipun pemahaman Pancasila sebagai forum atau common denominator merupakan bagian dari Pancasila sebagai konsepsi politis), dan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak berarti menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Kita sekarang dapat menyebutkan sejumlah manfaat dari Pancasila sebagai konsepsi politis :
1.    Pancasila sebagai konsepsi politis menawarkan jalan keluar bagi usaha menghindari otoritarianisme negara, dan usaha mengembangkan ‘pluralisme’ sebagai ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis di Indonesia. Sebagai konsepsi politis, Pancasila tidak membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa (koersif) sebagaimana terjadi pada kasus ideologi sebagai doktrin yang komprehensif, karena konsepsi politis tidak beranggapan menerima doktrin komprehensif tertentu, sebaliknya, sebagai sebuah konsepsi politis Pancasila menghormati keberadaan doktrin-doktrin komprehensif, dan ini akan menghasilkan kesatuan (kohesi) sosial akibat dukungan yang diperoleh dari keragaman (diversity) doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat.
2.    Pancasila sebagai konsepsi politis memberikan jalan keluar dari kesulitan yang ada selama ini tentang jarak (diskrepansi) atau ketidakjelasan (yang sering dianggap sebagai masalah) antara ajaran Pancasila dan perkembangan sosial, politik dan ekonomi. Pancasila sebagai konsepsi politis hanya berlaku pada domain politis (struktur dasar masyarakat) dari kehidupan bernegara; sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara.
3.  Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara, dan bersamaan dengan itu juga memperkuat gagasan fundamental tentang Pancasila sebagai dasar negara. Gagasan fundamental tentang dasar negara ini tidak lain adalah gagasan tentang ‘arti penting konstitusional’ (constitutional essentials), yaitu prinsip-prinsip fundamental yang menentukan struktur dari proses politik—kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan, dan juga kebebasan, hak-hak sipil dan politik dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hukum. Jika Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memberikan kerangka prinsip-prinsip dan nilai yang masuk akal untuk memecahkan masalahmasalah yang berhubungan dengan arti penting konstitusional (constitutional essentials) ini, maka besar kemungkinan bahwa keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat akan mendukungnya.

Comments

Popular posts from this blog

Upaya Jepang menggerakkan para pemuda Indonesia

MASA PEMERINTAHAN KOMISARIS JENDERAL

GERAKAN NON BLOK (GNB)