ALAS KETONGGO SRIGATI KABUPATEN NGAWI
Alas Ketonggo |
Lokasi
Pesanggrahan Srigati yang terletak 12 km arah barat daya Kota Ngawi, tepatnya
di Desa Babadan Kecamatan Paron, dapat ditempuh dengan berbagai macam kendaraan
bermotor. Pesanggrahan Srigati merupakan obyek wisata spiritual yang menurut
penduduk setempat adalah pusat keraton lelembut / makhluk halus. Dilokasi ini
terdapat petilasan Raja Brawijaya. Pada hari-hari tertentu seperti Jum’at Pon
dan Jum’at Legi pada bulan Syuro, Pesanggrahan Srigati banyak dikunjungi
oleh para pesiarah untuk menyaksikan diselenggarakannya upacara ritual tahunan “Ganti Langse” sekaligus melaksanakan
tirakatan / semedi untuk ngalap berkah.
Orbitasi
:
1. Dengan
ruas jalan Kabupaten Kecamatan Paron 6 Km
2. Dengan
ruas jalan Provinsi Km 6 ( Ngawi – Solo )
3. Dengan
Kota Ngawi 12 Km
A.
Legenda Seputar Keberadaan Alas Ketonggo
Konon tempat
ini dulunya adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari
kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh bala tentara Demak dibawah
pimpinan Raden Patah.
Dikisahkan,
ditempat itulah dalam perjalananya ke Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V melepas
semua tanda kebesaran kerajaan (jubah, mahkota, dan semua benda Pusaka),
namun kesemuanya raib atau mukso. Petilasan Prabu Brawijaya V ini ditemukan
mantan Kepala Desa Babadan, Somo Darmojo (alm) tahun 1963 berupa gundukan tanah
yang tumbuh setiap hari dan mengeras bagaikan batu karang. Kemudian tahun 1974
didatangi Gusti Dorojatun IX dari Kasunanan Surakarta yang menyatakan bahwa
petilasan tersebut bagian dari sejarah Majapahit dan petilasan tersebut diberi
nama Palenggahan Agung Srigati. Palenggahan Agung Srigati ini terdapat berbagai
benda-benda yang secara simbolik melambangkan kebesaran Kerajaan
Majapahit, baik berupa mahkota raja, tombak pusaka, gong, dan
lain-lainnya.
Pendopo Srigati |
Di dalam
ruangan ini sangat pekat aroma dupa dan wangi bunga, hal yang sangat wajar kita
temukan di sebuah tempat sakral. Dupa dan taburan bunga ini berasal dari para
pengunjung. Mbah Marji (juru kunci) menerangkan bahwa ”Gundukan tanah tersebut
biasanya terus tumbuh dan bertambah tinggi, tapi pada saat tertentu tidak
tumbuh,” terangnya. Gundukan tanah tersebut bisa dipercaya dijadikan pertanda
pada bumi Indonesia.
B.
Keistimewaan Alas Ketonggo
Keberadaan Pesanggrahan Srigati-sebuah obyek wisata
spiritual di Ketonggo merupakan sebab utama kemasyhuran hutan seluas 4.846 meter persegi itu.
Kepercayaan masyarakat yang menganggap Ketonggo sebagai pusat keraton lelembut
atau makhluk halus, dikukuhkan dengan banyaknya tempat-tempat pertapaan yang
mistik dan sakral. Menurut catatan, di Ketonggo terdapat lebih dari 10 tempat
pertapaan. Mulai dari Pesanggrahan Agung Srigati, Pundhen Watu Dhakon, Pundhen
Tugu Mas, Umbul Jambe, Pundhen Siti Hinggil, Kali Tempur Sedalem, Sendang
Drajat, Sendang Panguripan, Sendang Mintowiji, Kori Gapit, dan Pesanggrahan
Soekarno.
Vihara Alas Srigati |
Memasuki hutan Ketonggo, para tamu langsung
dapat melihat Pesanggrahan Agung Srigati, berupa sebuah rumah kecil berukuran
4×3 meter. Di dalamnya terdapat gundukan tanah, yang dari hari ke hari terus
tumbuh, sehingga makin lama makin banyak. Dinding rumah itu dikitari bendera
panjang Merah-Putih. Khas tempat sakral, Pesanggrahan Srigati pekat dengan bau
dupa. Di sekitar tanah, yang terlindung atap rumah itu, juga berserakan bunga
tabur yang selalu disebarkan para tamu.
“Seperti
pada saat terjadi krisis moneter 1997, sebelumnya gundukan tanah tersebut tidak
tumbuh, sehingga sama sekali tidak ada gundukan yang menyembul ke permukaan,”
Mbah Marji mengisahkan sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo Sidoarjo, dan
gelombang Tsunami Aceh, gundukan tanah tersebut terlihat ‘cekung’, katanya, sembari mengungkapkan bahwa tanah itu selalu dibawa tamu yang
bertapa di situ, sehingga selalu berkurang sedikit demi sedikit.
Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Pon dan
Jumat Legi, serta pada bulan Suro dalam kalender Jawa, ribuan masyarakat
Jawa maupun luar Jawa mendatangi tempat ini berbondong-bondong ke
pesanggrahan ini untuk merenung, tirakat dan berdo’a pada Sang Khaliq.. Pada saat-saat yang dianggap keramat itu, warga berdoa dan bertapa untuk
meminta berkah. Baik itu berkah karier atau jabatan, keselamatan, kesehatan,
jodoh, dan sebagainya.Seperti pengakuan Iwan (38) warga Purwokerto, Jawa
Tengah. ”Saya di sini sudah 4 bulan untuk merenung dan mencari petunjuk tentang
jati diri ,” tuturnya.
Tak hanya di Srigati. Beberapa lokasi sakral
lain di Ketonggo, juga diyakini dapat mengantarkan mereka menuju cita-cita yang
diinginkan. Misalnya, mandi di Kali Tempur Sedalem, sebuah sendang yang
merupakan pertemuan dua sungai, dan sesudah itu memanjatkan doa di tugu di
dekatnya, diyakini harapannya akan dapat terwujud. Adapun Pesanggrahan
Soekarno, disebut demikian karena konon Presiden pertama RI Ir Soekarno pernah
bertapa di tempat itu. Dikisahkan, ada seseorang tak dikenal yang pernah
membawa foto Bung Karno yang sedang bertapa di tempat berdirinya Pesanggrahan
Soekarno sekarang ini. Orang itu membawa foto Bung Karno bertapa tersebut,
tahun 1977.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya
sejumlah tokoh tua Ngawi menyepakati titik di mana Bung Karno bersemedi di
Ketonggo itu dijadikan Pesanggrahan Soekarno. Dibanding Pesanggrahan Srigati,
Pesanggrahan Soekarno terlihat lebih sederhana. Hanya ada lima tonggak yang
menopang bilik kecil beratap asbes yang tanpa dinding itu. Di tengahnya ada
beberapa batu.
Pesanggrahan Srigati yang masuk wilayah Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi,
konon adalah tempat beristirahat Prabu Brawijaya, setelah kalah perang dari
Raden Patah, tahun 1293. “Sebelum berkembang menjadi pesanggrahan dengan
dibangunnya rumah kecil ini pada tahun 1975, dulu gundukan tanah ini dikenal
sebagai petilasan Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit,” ujar Marji.
C.
Kisah – Kisah Unik di Alas Ketonggo
Sebagai tempat sakral, banyak kisah-kisah unik
yang terjadi di Alas Ketonggo, terutama ketika muncul perubahan situasi politik
nasional. Marji mengisahkan, saat Soeharto akan lengser pada 21 Mei 1998,
sebuah pohon jati di Ketonggo tiba-tiba mengering. “Kemarin-kemarin, pohon itu
tumbuh seperti biasa. Waktu Pak Harto lengser, tiba-tiba mati dan mengering,”
katanya.
Pada 23 hari sebelum Ny Tien Soeharto meninggal,
juga ada kejadian aneh. Sebuah dahan pohon besar di Ketonggo tiba-tiba patah
dan jatuh ke tanah. Padahal, waktu itu tidak ada hujan dan tidak ada angin.
Peristiwa unik juga terjadi saat Megawati Soekarnoputri akan dilantik menjadi
Presiden RI, 23 Juli 2001. Tiga hari sebelum pengukuhan Mega sebagai presiden,
ada cahaya berwarna biru dan putih, bak lampu lentera, di atas Kali Tempur
Sedalem. Berhubungan atau tidaknya tanda-tanda itu dengan tampilnya Presiden
Megawati, Anda boleh percaya boleh tidak.
Beberapa cerita menarik juga dialami mereka yang
bertapa di Pesanggrahan Srigati. Sekarjati, seorang perempuan yang tinggal di
Jakarta, usai bertapa di Srigati, terus terbayang-bayang wajah seorang
perempuan cantik berpakaian kebaya. “Katanya, sampai sekian hari terus
terbayang wajah itu. Akhirnya, Mbak Sekarjati melukis wajah dalam bayangan
itu,” ucap Marji lagi.
Sekarang, lukisan tersebut dipajang di ruang pengunjung
Pesanggrahan Srigati. Seorang perempuan cantik mengenakan kebaya, rambutnya
bergelung konde, dengan bibir yang sedang mengembangkan senyum. Kesakralan
Pesanggrahan Srigati dan beberapa tempat penting di hutan Ketonggo, membuat
sudah banyak orang yang meminta berkah di sana. Termasuk beberapa tokoh dan
pejabat di negeri ini. Sayang memang, jalan masuk menuju Pesanggrahan Srigati
yang sakral itu tidak mulus. Hanya ada jalan berbatu yang bergelombang
sepanjang empat kilometer lebih. Ada baiknya, perbaikan jalan menuju
pesanggrahan itu segera dilakukan. Supaya tamu-tamu dari jauh dapat merasakan
nikmatnya perjalanan, sebelum mereka meminta berkah di tempat mistis itu.
D.
Upacara – Upacara yang Dilaksanakan di
Alas Ketonggo
Alas Srigati ataupun dikenal dengan sebutan alas Ketonggo merupakan tempat yang bersejarah menurut
dari legendanya. Dengan adanya daya tarik tersendiri itulah seperti biasanya
pada saat 1 Muharam atau pergantian malam bulan hijriyah selalu dipadati ribuan
pengunjung dari berbagai daerah. Sejak waktu mulai beranjak malam para
pengunjung mulai berdatangan, mereka ada yang datang dengan cara berkelompok
dan perseorangan. Terlihat dari plat nomor mobil yang dipakai pengunjung dapat
dinyatakan mereka berasal mulai daerah Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya dan
daerah terdekat dengan Ngawi seperti Nganjuk, Kediri dan Malang.
Acara ritual yang dilakukan para
pengunjung di Alas Srigati waktunya pun bervariasi mulai tengah
malam sampai waktu shubuh. Dan begitu juga tempatnya berlainan karena dilokasi
Alas Srigati sendiri ada sekitar 12 lebih tempat petilasan. Seperti Punden
Krepyak Syeh Dombo atau Palenggahan Agung Brawijaya, Padepokan Kori Gapit,
Palenggahan Watu Dakon, Sendang Drajat, Sendang Mintowiji, Goa Sido Bagus,
Sendang Suro, dan Kali Tempur. Menurut juru kunci Alas Srigati, Ki Among Jati
menjelaskan secara rinci, para pengunjung yang datang di Alas Srigati biasanya
mereka ingin napak tilas mengenang sejarah dimana Raja Majapahit yaitu Prabu
Brawijaya V singgah terlebih dahulu di Alas Srigati untuk melepaskan baju
kebesarannya sebelum melanjutkan perjalanan ritual ke puncak Gunung Lawu.
Lanjut Ki Among Jati, pengunjung di
Alas Srigati tidak melakukan hal-hal yang sifatnya syirik, seperti menyembah
punden segala macam. Akan tetapi para pengunjung melakukan ritual mengambil
tempat Alas Srigati hanya sebagai tempat perantara untuk menyambung segala
permintaan kepada Allah SWT. Seperti terlihat di Palenggahan Agung Brawijaya
pengunjung sambil membakar dupa sebagai bentuk permintaan dan do’a kepada Yang
Maha Kuasa. ‘’Disini pengunjung mempunyai berbagai permintaan untuk dikabulkan
dari Yang Maha Kuasa, seperti minta kesehatan, keselamatan dan masih banyak
lagi dan jangan dianggap di Alas Srigati ini melakukan hal-hal yang menyimpang
dan untuk hari biasa yang ramai dikunjungi yaitu pada hari malam Jum’at Kliwon,
Jum’at Legi dan malam Selasa Kliwon’’ jelas Ki Among Jati.
Sementara kilas balik dari sejarah
ditemukannya petilasan Srigati merupakan dari jasa mantan Kepala Desa Babadan
pada tahun 1963 yaitu Somo Darmodjo kemudian tahun 1974 didatangai Gusti
Dorodjatun IX dari Kasunanan Surakarta dan menyatakan benar bahwa petilasan
Punden Krepyak Syeh Dombo merupakan bagian dari sejarah dari Majapahit. Yang
saat itu Prabu Brawijaya melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Lawu dan
oleh Gusti Dorodjatun IX dinamakan dengan sebutan Srigati. Namun, dengan adanya
wisata religi Alas Srigati tidak dibarengi pengembangan potensi yang ada
seperti fasilitas jalan yang menuju lokasi Alas Srigati yang kondisinya sangat
rusak terlihat disana-sini berlubang.
E.
Renovasi serta Pembangunan Sarana dan
Prasarana di Alas Ketonggo
Baik sarana dan
prasarana mulai di pacu pembangunannya, termasuk jalan akses serta gapura
menuju Palenggahan Agung Srigati Ngawi. Meski masih dalam tahap awal
pengerjaan, Alas ketonggo seluas 4,846m2 ini boleh dibilang mulai
memanjakan para wisatawan yang kebanyakan berasal dari luar kota bahkan hingga
luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.
Seperti pada tanggal 5 November
2011, rombongan turis dari negeri dengan maskot patung singa ini, mendatangi
Palenggahan Agung Srigati guna melakukan wisata ritual yang dipimpin langsung
oleh Ki Juru Kunci, Marji. lokasi Wisata Ritual alas Ketonggo atau alas Srigati
ini sekitar 12 Km dari arah Kota Ngawi tepatnya masuk Dusun Brendil, Desa
Babadan Kec. Paron. “Kalau jalan menuju kelokasi serta yang lainnya nanti
nampak bagus, maka saya akan berkunjung ke Srigati ini setiap tahun.” Ujar
warga Singapura tersebut yang diterjemahkan oleh Pramuwisata (Guide).
Seperti yang diungkap oleh Juru
Kunci, Marji bahwa dengan adanya pembangunan serta pembenahan ini, nanti akan
mampu menarik perhatian Wisatawan lokal maupun domestik sehingga lebih banyak
lagi yang datang.
Comments
Post a Comment